Shohibul Ansor Siregar |
Oleh Shohibul Anshor Siregar
JIKA hanya ingin berbangga ria karena kemajuan yang tak menyertakan rakyat, Belanda pun dulu mampu melakukan itu. Itulah maknanya Indonesia merdeka.
Paradigma kuno dan otoriter menyeret-nyeret rakyat ke pembangunan harus dirubah menjadi paradigma demokratis menyeret-nyeret paksa untuk mendekatkan pembangunan sedekat-dekatnya kepada masyarakat berbasis pendekatan Community organization dan community development.
Agenda revolusi martabat sebagai gejala dunia harus hadir di Sigapiton.
Masih merasa perlukah bertanya mengapa penting ditekankan dalam pengembangan Danau Toba?
Tahukah Anda bahwa tuntutan pembangkitan martabat manusia sebagai bagian dari kewarganegaraan dalam sistem demokrasi begitu kuat gaungnya?
Semua termanifestasi dalam berbagai bentuk gejala dunia yang di antara yang paling tegas sekarang ini ialah populisme dan politik identitas.
Dalil berdasarkan pengalaman empiris semakin kuat untuk menyatakan bahwa tanpa menyertakan penghargaan dan peningkatan martabat manusia, pembangunan apapun, hanyalah arena perbudakan manusia paling kuat (pemodal) atas yang lemah, yang secara sepihak selalu dengan enteng disebut sebagai kebijakan atas nama, demi dan untuk negara.
Dengan sedikit pengecualian beberapa negara tertentu, mungkin termasuk Indonesia, saat ini di berbagai belahan dunia martabat kemanusiaan itu menjadi pusat perhatian serius. Mengapa Indonesia termasuk dalam pengecualian?
Populisme Indonesia adalah sebuah gejala besar yang menjadi dasar sentimen yang luas yang memungkinkan reformasi dan lanjutan-lanjutannya. Namun populisme bisa menjadi tragedi senjata makan tuan akibat perulangan sejarah silih-bergantinya rezim yang tetap tunduk pada hegemoni asing dan faktor-faktor struktural yang membelenggu bangsa Indonesia dalam rentang waktu yang panjang, bahkan tak hanya sejak kemerdekaan tahun 1945.
Apa yang terjadi di berbagai belahan dunia? Di Tunisia, dan Ukraina, rakyat menuntut martabat sampai menggulingkan rezim pemerintahan yang ada. Tuntutan ini dinamakan dengan 'Revolusi Martabat.' Di Brazil, terpilih presiden yang unggul karena populisme dan politik identitas. Di Barat (negara-negara dengan mayoritas warga kulit putih), kemunculannya terlihat jelas dari fenomena populisme dan politik identitas. Rakyat Inggris memilih keluar dari Uni Eropa (Brexit). Rakyat Amerika memilih Donald Trump sebagai presiden.
Popularitas partai-partai dan gerakan 'kanan' (ciri utamanya anti-imigran) di seluruh Eropa (Barat, Timur, bahkan Skandinavia). Slogan Australia First di parlemen Australia sebagaimana America First juga bergema di parlemen Amerika.
Para ilmuan seperti Fukuyama dan lain-lain tampaknya sepakat bahwa martabat manusia adalah faktor utama dalam kemunculan fenomena populisme dan politik identitas. Penjelasan paling komprehensif tentang martabat manusia dapat ditemukan pada karya-karya Myres McDougal yang membagi martabat manusia kepada 8 unsur, yakni kekuasaan, kecerdasan, keahlian, kehormatan, kejujuran, kecintaan, kekayaan dan kesejahteraan.
Kekurangan martabat berakibat seringnya terjadi kematian akibat kekerasan, lemahnya jaminan keamanan, kesehatan, dan kenyamanan, tingginya jumlah orang yang berpenyakit mental dan emosional, kekhawatiran akibat ancaman kekerasan dalam skala besar dan kecil, kondisi perumahan yang buruk dan penuh sesak, kehancuran lingkungan yang mengancam keberlangsungan manusia, akses yang tidak setara akan manfaat kedokteran modern, ketidakmampuan mengantisipasi bencana alam, dan ketidakmampuan komunitas mencapai kesejahteraan.
Meluasnya kemiskinan, tidak adanya gaji rakyat (basic income) dan jaminan sosial, penikmatan manfaat barang dan jasa tidak sesuai dengan kontribusi, pengangguran massal, keterbatasan kebebasan dalam mencari dan berganti pekerjaan, konsentrasi kekayaan berlebihan pada segelintir, dan penggunaan sumber daya tanpa mempedulikan generasi masa depan.
Kekurangan martabat yang terjadi meluas di seluruh dunia sudah cukup sebagai syarat untuk terjadinya krisis kepercayaan terhadap pemerintahan, model-model baku pemerintahan, ekonomi politik dan kelembagaan pada tingkat lokal, nasional dan internasional, atau munculnya fenomena politik identitas dan populisme yang bertujuan menggairahkan pemerintahan yang dapat mengembalikan martabat manusia.
Para intelektual dan ilmuwan kritis di Barat pun memfokuskan kepada solusi-solusi yang bisa mengembalikan martabat manusia. Solusi paling utama terletak pada perjuangan mengganti paradigma neoliberal yang dianut hampir semua rezim pemerintahan di dunia dalam merumuskan kebijakan-kebijakannya.
Inti dari perubahan ini adalah pengembalian kedudukan negara sebagai pengatur pasar dan pemodal, bukan seperti sekarang, di mana negara lebih banyak diatur pasar dan pemodal.
Jum'at (4/10/2019) lalu sebuah komunitas menggelar diskusi tentang fungsi tanah dalam masyarakat Batak. Pilihan topik ini adalah sikap malu-malu atas kejadian beberapa pekan lalu di Sigapiton, Tobasa, yang terkena proyek pembangunan Kawasan Danau Toba sesuai rencana Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) .
Duka Sigapiton itu sebenarnya begitu sederhana dan sangat mudah diantisipasi jika saja ada penghargaan terhadap komunitas. Ia berhulu pada kesemrawutan hukum terbiarkan dan arus kebijakan tanpa rem atas nama pembangunan, sembari mengedepannya ketakpedulian atas nilai-nilai-lokal. Di sini interaksi ekonomi pinggiran dan ekonomi raksasa melukiskan pertarungan ala David dan Goliath.
Lon Luvois Fuller benar ketika membagi delapan jalan menuju kegagalan dalam pembentukan UU. Kedelapan jalan itu adalah pertama, tidak ada aturan (kevakuman hukum) atau malah hukum yang ada justru menimbulkan ketidakpastian; kedua, kegagalan untuk mempublikasikan atau memperkenalkan aturan hukum kepada masyarakat; ketiga, aturan berlaku surut yang diterapkan secara tidak pantas; keempat, kegagalan menciptakan hukum yang bersifat komprehensif, kelima, pembentukan aturan yang kontradiksi satu sama lain; keenam, pembentukan aturan yang mencantumkan persyaratan yang mustahil dipenuhi; ketujuh, perubahan aturan secara cepat sehingga menimbulkan ketidakjelasan dan kedelapan, adanya ketidaksinambungan antara aturan dengan penerapannya.
Rasanya, untuk Indonesia, khususnya terkait masalah tanah yang disengketakan di Sigapiton, sangat mudah difahami bahwa dualisme politik pemerintahan sejak Hindia Belanda amat bertanggung jawab atas timbulnya berbagai kelembagaan hak atas tanah yang bersumber pada pertentangan antara Hukum Barat dan hukum adat.
Van Vollen Hoven menyebut hak ulayat sebagai beschikkingrescht yang melukiskan keterkaitan atau hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah itu sendiri. Dengan begitu ada ketegasan tentang hubungan hukum konkret antara masyarakat-masyarakat hukum adat dengan tanah di dalam wilayah yang didiaminya. Semestinya tanah adalah wilayah yang dikuasai dan diatur penguasaannya tidak saja oleh negara, tetapi juga wajib merujuk kepentingan seluruh masyarakat adat di Indonesia (patuanan di Ambon, pawatasan di Kalimantan, wewengkon di Jawa, prabumian di Bali, tatabuan di Bolaang mongondow, limpo di Sulawesi selatan, nuru di Buru, ulayat di Minangkabau, paer di Lombok, golat di Toba, dan lain sebagainya).
Apa yang bisa menjelaskan kesan lebih mulia dan lebih manusiawinya belanda yang menjajah 350 tahun dibanding rezim pemerintahan yang silih berganti? Reforma agraria tak dianggap penting.
Namun RUU Pertanahan yang kini menjadi kontroversi dengan begitu teganya tidak menganggap penting reforma agraria karena kelihatannya hanya menyalin isi Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018. Padahal RUU Pertanahan diharapkan memuat prinsip-prinsip reforma agraria, subjek prioritas pemanfaatannya siapa, objeknya apa, dan bagaimana memecahkan konflik lahan.
RUU yang sama juga menegaskan perpanjangan HGU hingga 90 tahun (pasal 25). Perpanjangan HGU yang sudah diberikan selama 35 tahun bisa diperpanjang untuk kedua kalinya sehingga mencapai 90 tahun. Ini seakan menghidupkan kembali praktik politik agraria zaman kolonial. Pasal 36 RUU ini mewajibkan permohonan perpanjangan 5 tahun sebelum hak atas tanah berakhir yang dikhawatirkan menimbulkan masalah baru. Mekanisme penyelesaian konflik agraria yang komprehensif tidak ada, sehingga berpotensi munculnya pengadilan pertanahan. Ketika satu tanah tidak bisa dibuktikan siapa pemiliknya, otomatis negara memilikinya
Kemudian, apalah gerangan maksud pemerintah ketika nama pemegang izin HGU dirahasiakan? Informasi pemilik hak atas tanah yang dirahasiakan kepada publik (pasal 45 ayat 9) begitu mengherankan.
Ada ancaman pidana bagi korban penggusuran di dalam RUU Pertanahan. Pasal 89 berisi ancaman kriminalisasi bagi masyarakat yang berusaha mempertahankan tanahnya dari penggusuran. Pasal 94 mengancam pidana 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp 15 miliar bagi setiap orang atau kelompok yang menyebabkan sengketa lahan.
Menurut YLBHI kasus pertanahan menjadi aduan paling banyak tahun 2018 (300 kasus), Orang Batak mungkin dikenal sangat kuat memegang adat. Namun dimensi keberlakuannya jauh sekali di bawah ketika dibandingkan dengan adat Bali yang mampu memaksa masyarakat dunia untuk ikut nyepi tak perduli ekonomi lumpuh sehari. Adat Batak tak dihargai sehebat itu di Indonesia dan tak terkecuali di tanahnya (home land) sendiri.
Paradoksnya semua itu terjadi saat kemeriahan fenomena mendunia kebangkitan isu perjuangan martabat. Makin terasa paradoks bahwa selain DKI (tempat sebuah istana berdiri), Bogor (tempat sebuah istana yang lain berdiri) dan Solo (kampung halaman Joko Widodo), mungkin tidak ada daerah yang paling kerap dikunjungi oleh Joko Widodo di Indonesia selain daerah seputaran Danau Toba ini.
Solusi paling utama akan terletak pada perjuangan mengganti paradigma neoliberal yang dianut hampir semua rezim pemerintahan di dunia dalam merumuskan kebijakan-kebijakannya. Konkretnya, pengembalian kedudukan negara sebagai pengatur pasar dan pemodal, bukan seperti sekarang, negara lebih banyak diatur pasar dan pemodal.
Agar negara berfungsi optimal, yang dalam konteks Indonesia berarti mencapai cita-cita kemerdekaan (melindungi segenap tumpah darah dan seluruh bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa), diperlukan pendekatan berbasis revolusi martabat untuk kebijakan. Jika hanya ingin berbangga ria karena kemajuan yang tak menyertakan rakyat, Belanda pun dulu mampu melakukan itu. Itulah maknanya Indonesia merdeka.
Paradigma kuno dan otoriter menyeret-nyeret rakyat ke pembangunan harus dirubah menjadi paradigma demokratis mendekatkan pembangunan kepada masyarakat berbasis pendekatan Community organization dan community development.
Agenda revolusi martabat sebagai gejala dunia harus hadir di Sigapiton. Masih merasa perlukah bertanya mengapa ditekankan dalam pengembangan danau Toba?
Catatan untuk mendukung tulisan diatas, tidak dimuat oleh redaksi (Arsip).